DASAR HUKUM, SUBYEK, OBYEK, TARIF, FAKTUR PAJAK DAN DPP PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Gambar

  1. DASAR HUKUM

Dasar hukum pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah Undang-undang No 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No 18 Tahun 2000. UU PPN & PPn BM efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985 dan merupakan pengganti UU Darurat No 19 Tahun 1951 tentang Pajak Penjualan

 

  1. PENGERTIAN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, Disebut pajak tidak langsung karena tidak langsung dibebankan kepada penanggung pajak (konsumen) tetapi melalui mekanisme pemungutan pajak dan disetor oleh pihak lain (penjual). Transaksi penyerahannya bisa dalam bentuk jual-beli, pemanfaatan jasa, dan sewa-menyewa.

Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN. Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena Pajak kecuali yang diatur lain oleh Undang-Undang Nomor PPN itu sendiri. Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (hak cipta, merek dagang, paten, dll.

Sedangkan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN, Contohnya: jasa konstruksi, jasa sewa ruangan, jasa konsultan, jasa perantara, dll.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

 

  1. OBJEK YANG KENA PAJAK DAN YANG TIDAK KENA PAJAK

       Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah objek PPN. Tetapi oleh karena adanya pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, maka diatur sendiri oleh Undang-undang PPN bahwa ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.

 Objek PPN dapat dikelompokan ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu: 

  1. Barang Kena Pajak yaitu barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 
  2. Jasa Kena Pajak yaitu setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan, yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Apa saja yang menjadi Objek PPN selengkapnya diatur dalam Undang-undang PPN pasal 4, pasal 16 C, dan pasal 16 D.

Pasal 4:

PPN dikenakan atas:

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  2. Impor Barang Kena Pajak;
  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
  7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
  8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 16 C:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”

Pasal 16 D:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

 

  1. SUBYEK PPN

Pengusaha kena pajak

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 huruf a yaitu menyerahkan BKP, Pasal 4 ayat 1 huruf c yaitu menyerahkan JKP, dan Pasal 4 ayat 1 huruf f UU PPN 1984 yaitu mengekspor BKP, serta bentuk kerjasama operasi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012.

Sedangkan pengertian PKP dirumuskan dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 yaitu pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP atau ekspor BKP. Berdasarkan memori penjelasan Pasal 4 ayat huruf a dan huruf c UU PPN 1984 “pengusaha” yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dalam ketentuan ini meliputi, baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP, maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP, tetapi belum dikukuhkan. Oleh karena itu, ketika seorang pengusaha atau suatu perusahaan menyerahkan BKP/JKP yang dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, pad dasarnya sudah dapat dikenai pPPn tanpa menunggu pengukuhan sebagai PKP.

Berbeda halnya dengan ekspor BKP. Dalam memori penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf f, ekspor BKP dapat dikenai PPN hanya apabila yang melakukan ekspor adalah pengusaha yang sudah dikukuhkan menjadi PKP. Dalam hal eksportir belum dikukuhkan menjadi PKP, atas ekspor BKP ini tidak dikenai PPN. Pemahaman yangs ama berlaku terhadap Pasal 4 ayat 1 huruf g dan huruf h.

Pengusaha Tidak Kena Pajak

Pengusaha bukan PKP yang menjadi subjek PPN meliputi pengusaha yang melakukan kegiatan dimaksud Pasal 4 ayat 1 huruf b, huruf d, dan huruf e serta Pasal 16C UU PPN 1984.pengukuhan pengusaha ini sebagai atau menjadi PKP, bukan faktor yang menentukam statusnya sebagai subjek pajak.

 

  1. SAAT TERHUTANG
  2. SAAT PAJAK TERUTANG

Saat pajak terutang diatur dalam Pasal 11 UU PPN 1984 yang penjabarannyadilakukan lebih lanjut dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 serta beberapa Keputusan Direktorat Jendral Pajak untuk yang bersifat khusus.Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun2012 mengatur tentang terjadinya peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang menimbulkan utang pajak.

Karena saat terutang sangat ditentukan oleh perbuatan hukumyang dilakukan atau peristiwa hukum yang terjadi, maka dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 diatur lebih lanjut tentang saat suatu peristiwa hukum dilakukan atau suatu peristiwa hukum terjadi, sebagai berikut :

  1. Untuk BKP berwujud yang sifat atau hukumnya berupa barang bergerak terjadi pada saat:
  2. Penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukum berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
  3. Penyerahan BKP tidak berwujud, terjadi saat :
  4. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih ada pada saat pembubaran perusahaan ditentukan oleh salah satu dari perbuatan hukum yang terjadi lebih dahulu yaitu pada saat :
  5. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 1A ayat 2 huruf d UU PPN 1984 atau perubahan bentuk usaha, terjai pada saat :
  6. Saat impor BKP terjadi saat BKP dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
  7. Penyerahn JKP terjadi pada saat :
  8. Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah pabean sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat 1 huruf d dan huruf e UU PPN 1984, ditentukan perbuatan hukum yang terlebih dahulu dilakukan diantara tiga perbuatan hukum dibawah ini, yaitu pada saat :
  9. TEMPAT PAJAK TERUTANG
  10. PEMUSATAN TEMPAT PAJAK TERUTANG

 

  1. TARIF

Tarif dan Cara Penghitungan

Tarif PPN

PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka memudahkan melakukan kredit pajak. Dalam menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh menghitung termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak maupun pembayaran.

Cara Penghitungan

PPN yang terutang atas pemanfaatan BKP dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara sebagai berikut:

10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKP/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan tidak termasuk PPN; atau

10/110 dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKP/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan sudah termasuk PPN.

Dalam hal tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan atau ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk PPN, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung sebesar 10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKP/JKP dari luar Daerah Pabean

 

  1. PAJAK KELUARAN DAN PAJAK MASUKAN

Pajak keluaran dan pajak masukan adalah dua istilah yang dikenal dalam tata cara perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pajak keluaran adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan penjualan terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak. Pajak masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian terhadap barang kena pajak atau jasa kena pajak.

Tata cara umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pengusaha kena pajak mengurangkan atau mengkreditkan pajak masukan dalam suatu masa dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak tersebut lebih besar pajak keluaran, kelebihan pajak keluaran harus disetorkan ke kas negara. Sebaliknya, apabila dalam masa pajak tersebut pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, kelebihan pajak masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi. Dalam tata cara umum tersebut, jumlah yang harus dibayarkan oleh pengusaha kena pajak berubah-ubah sesuai dengan pajak masukan yang dibayarkan dan pajak keluaran yang dipungut dalam suatu masa pajak.
 
Pajak Keluaran (PK) adalah :
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
Contoh :
PT.ABC melakukan penjualan komputer dengan perincian sebagai berikut :
Harga Jual Komputer                                      10.000.000
PPN                                                                        1.000.000 +
Harga Jual Komputer dan PPN                     11.000.000
Maka PPN sebesar 1.000.000 merupakan Pajak Keluaran bagi PT.ABC.

Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan adalah:

    

Pajak Masukan yang telah dibayar oleh PKP pada waktu perolehan atau impor BKP atau penerimaan JKP dapat dikreditkan dengan pajak Keluaran yang dipungut oleh PKP pada waktu menyerahkan BKP atau JKP. Pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran tersebut harus dilakukan dalam masa pajak yang sama.

Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dibayar dan disetor oleh PKP ke kas negara, terlebih dahulu wajib pajak (wp) harus mengurangi pajak keluaran dengan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Apabila dalam suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan, maka selisihnya merupakan pajak pertambahan nilai yang harus dibayar dan disetor oleh PKP ke kas negara.

Pajak masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan.

Untuk memahami lebih lanjut mekanisme pengkreditan pajak masukan disajikan contoh sebagai berikut :

Pengusaha kena pajak “ABC” dalam masa pajak Januari 20xx. Komposisi PPN sebagai berikut:

PPN Keluaran Rp 25.000.000
PPN Masukan Rp 15.000.000 (dikurang)
          PPN Kurang Bayar Rp 10.000.000

Pada masa bulan Februari 20xx
PPN Keluaran Rp 50.000.000
PPN Masukan Rp 70.000.000 (selisih)
          Kelebihan PPN Rp 20.000.000

Pada masa bulan Maret 20xx

PPN Keluaran Rp 50.000.000
PPN Masukan Rp 30.000.000 (dikurang)

          PPN Kurang Bayar Rp 20.000.000
Kelebihan bulan Februari Rp 20.000.000  (dikurang)

PPN masa Maret Rp NIHIL

Pajak Keluaran dan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak dituangkan dalah sebuah Faktur Pajak yakni bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

 

 

 

     

  1. DPP (DASAR PENGENAAN PAJAK)

     Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM) digunakan nilai yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Sedangkan untuk mengetahui PPN dan/atau PPn BM yang terutang DPP tersebut dikalikan dengan tarif. Saat ini tarif ppn 10%, untuk ekspor BKP (termasuk ekspor BKP yang tergolong mewah), JKP dan BKP tak berwujud tarifnya 0%, sedangkan tarif PPnBM ditetapkan 10% s/d 100% (pengenaanya diatur oleh menteri keuangan).

Berdasarkan UU PPN pasal 8A Dasar Pengenaan Pajak (DPP) terdiri dari;

  1. Harga Jual
  2. Penggantian
  3. Nilai Impor
  4. nilai ekspor
  5. Nilai lain yang diatur oleh Menteri Keuangan

1. Harga Jual

Berdasarkan pasal 1 angka 18 UU PPN yang dimaksud dengan harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

 

Dari Pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual, yaitu; 

  • Nilai nya berupa uang karena penyerahan BKP oleh Pengusaha kena Pajak.
  • termasuk semua biaya yang diminta atau seharunya diminta oleh penjual, contoh; biaya angkut, asuransi ,dll.
  • tidak temasuk PPN dan potongan harga yang tercantum dalam FP.

 

2. Penggantian

Pengeritan penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 19 adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

 

Dari pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual, yaitu; 

  • Nilai berupa uang karena penyerahan JKP, ekspor BKP tak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak atau yang dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau BKP tak berwujud dari luar baerah pabean didalam daerah pabean.
  • termasuk semua biaya yang diminta atau seharunya diminta pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
  • tidak temasuk PPN dan potongan harga yang tercantum dalam FP.

 

3. Nilai Impor

Pengeritan penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 20 adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-undang PPN.

 

Dari pengertian tersebut dapat diambil 3 hal yang termasuk harga jual, yaitu;

  • Nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk
  • termasuk pungutan lain berdasarkan peraturan undang-undang mengenai kepabeanan dan cuka atas impor BKP.
  • tidak termasuk PPN dan PPn BM.

4. Nilai Ekspor

Pengeritan penggantian dalam UU PPN pasal 1 angka 26 adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

 

5. Nilai lain

Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak yang diatur oleh menteri kuangan.  Sampai saat ini menteri keuangan mengatur nilai lain dalam pertauran menteri keuangan no. 75/PMK.03/2010 yang telah diubah terakhir dengan peraturan no. 38/PMK.011/2013. 

 

Nilai lain tersebut ditetapkan antara lain:

  1. Harga Pokok Penjualan yaitu harga jual atau penggantian dikurangi laba kotor untuk pemakaian sendiri dan untuk pemberian cuma-cuma BKP/JKP.
  2. Perkiraan harga jual rata-rata untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar.
  3. Perkiraan hasil rata-rata per judul film untuk penyerahan film cerita (tidak termasuk penetapan Nilai Lain untuk film cerita impor).
  4. berupa uang yang ditetapkan sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) per copy Film Cerita Impor untuk  pemanfaaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean berupa film cerita impor (PMK no. 102/PMK.011/2011)
  5. Harga jual eceran  untuk penyerahan produk hasil tembakau. 
  6. Harga pasar wajar untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.
  7. Harga perolehan atau harga pokok penjualan untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang.
  8. harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara
  9. Harga lelang untuk penyerahan BKP melalui juru lelang
  10. Sebesar 20% dari harga jual emas perhiasan atau nilai penggantian untuk penyerahan emas perhiasan termasuk penyerahan jasa perbaikan dan modifikasi emas perhiasan serta jasa-jasa lain yang berkaitan dengan emas perhiasan, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan.
  11. Sebesar 10% dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih untuk; 1) penyerahan jasa pengiriman paket; 2) penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata; 3) penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang didalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges).

Pajak Masukan yang berhubungan angka 10 dan 11 tidak dapat dikreditakan.

 

 

  1. FAKTUR PAJAK

A. PENGERTIAN FAKTUR PAJAK

Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) atau oleh Ditjen Bea dan Cukai karena import BKP.

B. MACAM – MACAM FAKTUR PAJAK

Terdapat 3 (tiga) jenis faktur pajak menurut UU PPN, yaitu :

  1. Faktur Pajak Standart, termasuk dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standart.
  2. Faktur Pajak Gabungan
  3. Faktur Pajak Sederhana

C. FAKTUR PAJAK STANDART

  1. Adalah faktur pajak yang dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Kep.Dirjen Pajak No. Kep-53/PJ/1994 tanggal 29 Desember 1994, yang wajib dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP pada atau setelah tanggal 1 Januari 1995.
  2. Bentuk Faktur Pajak Standart dibuat dengan ukuran kuarto yang isinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (SK.Dirjen Pajak No.Kep-53/PJ/1994 tanggal 29 Desember 1994).
  3. Faktur Pajak Standart harus dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap 2, yaitu :
    1. Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP atau penerima JKP sebagai bukti Pajak Masukan
    2. Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan faktur pajak standart sebagai bukti Pajak Keluaran
  4. Dalam hal Faktur Pajak Standart dibuat lebih dari rangkap 2 (dua), maka peruntukan lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas dalam faktur pajak yang bersangkutan, misalnya, Lembar ke-3 : Untuk KPP dalam hal penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada pemungut PPN

D. SYARAT-SYARAT FAKTUR PAJAK STANDART

Faktur Pajak Standart harus memenuhi syarat formal maupun material. Yang dimaksud dengan syarat formal adalah bahwa faktur pajak standart paling sedikit harus memuat keterangan :

  1. Nama, Alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan atau pembelian BKP atau JKP
  2. Jenis Barang atau Jasa, Jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga
  3. PPN yang dipungut
  4. PPnBM yang dipungut
  5. Kode, Nomor seri dan tanggal pembuatan faktur pajak, dan
  6. Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak.

Adapun yang dimaksud dengan syarat material adalah bahwa barang yang diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian juga pengusaha yang melakukan dan yang menerima penyerahan BKP tersebut sesuai dengan keterangan yang tercantum pada faktur pajak.

E. FAKTUR PAJAK GABUNGAN

  1. Adalah Faktur Pajak Standart yang cara penggunaannya diperkenankan kepada PKP atas beberapa kali penyerahan BKP / JKP kepada pembeli atau penerima jasa yang sama yang dilakukan dalam satu masa pajak, dan harus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP / JKP.
  2. Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP / JKP atau terdapat pembayaran sebelum faktur pajak gabungan tersebut dibuat, maka untuk pembayaran tersebut dibuat faktur pajak tersebut pada saat diterima pembayaran.
  3. Tanggal penyerahan / pembayaran pada faktur pajak diisi dengan tanggal awal penyerahan BKP / JKP sampai dengan tanggal terakhir dari masa pajak yang dibuat faktur pajak gabungan, dengan melampirkan daftar tanggal penyerahan dari masing-masing faktur penjualan.

F. FAKTUR PAJAK SEDERHANA

  1. Faktur Pajak Sederhana adalah dokumen yang disamakan fungsinya dengan faktur pajak, yang diterbitkan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP / JKP kepada pembeli BKP / JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap atas penyerahan BKP / JKP secara langsung kepada konsumen akhir
  2. Pembeli BKP / penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap, misalnya, pembeli yang tidak diketahui NPWP-nya atau tidak diketahui nama atau alamat lengkapnya.
  3. Faktur Pajak Sederhana sekurang-kurangnya harus memuat :
    1. Nama, Alamat usaha, NPWP serta nomor dan tanggal pengukuhan PKP yang menyerahkan BPK atau JKP
    2. Macam, jenis dan kuantum dari BKP atau JKP
    3. Jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk pajak atau besarnya pajak dicantumkan secara terpisah
    4. Tanggal pembuatan faktur pajak sederhana
    5. Bentuk faktur pajak sederhana dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuintansi, yang dipakai sebagai tanda bukti penyerahan atau pembayaran BKP atau JKP oleh PKP yang bersangkutan
    6. Faktur pajak sederhana yang diisi tidak lengkap bukan merupakan faktur pajak sederhana
    7. Faktur pajak sederhana dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua :

                                                                    i.            Lembar ke-1 : Untuk pembeli BKP / penerima JKP

                                                                  ii.            Lembar ke-2 : Untuk arsip PKP yang bersangkutan

  1. Faktur pajak sederhana dianggap telah dibuat rangkap dua atau lebih, dalam hal faktur pajak sederhana tersebut dibuat dalam satu lembar yang terdiri dari dua atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong, seperti yang terjadi pada karcis.
  2. Faktur pajak sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli BKP atau penerima JKP sebagai dasar untuk pengkreditan pajak masukan

Leave a comment